Featured Widget

6/recent/ticker-posts

Sikap Politik Muhammadiyah


Buya Syafii Maarif dalam prolognya atas buku Paradigma Politik Muhammadiyah karya Ridho Al-Hamdi mengatakan bahwa sikap dan posisi Muhammadiyah tentang politik tidak pernah dapat dilepaskan dari konteks ruang dan waktu. Di tengah pergumulan itu, kata Buya Syafii, “Muhammadiyah tidak pernah berubah menjadi parpol (partai politik) dan tidak pernah berafiliasi pada kekuatan politik manapun” (2020: 11) .

Muhammadiyah sedari awal memang bukan gerakan politik. Persyarikatan yang berdiri tahun 1912 ini merupakan gerakan sosial-keagamaan yang bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat, wabil khusus umat Islam di Indonesia. Dalam bahasa Haedar Nashir, Muhammadiyah “berkonsentrasi pada kegiatan-kegiatan dakwah dan pembaruan kehidupan tanpa terlibat dalam pertarungan politik” (2010: 230).

Tidak terlibatnya Muhammadiyah dalam gerakan politik praktis bukan berarti Muhammadiyah bersifat apolitis. Dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) dinyatakan bahwa warga Muhammadiyah “tidak boleh apatis dalam kehidupan politik melalui berbagai saluran secara positif … dengan prinsip-prinsip etika/akhlak Islam”.

Sikap politik itu pula yang diamati oleh Pramono Tanthowi. Ia melihat bahwa Muhammadiyah mendorong warganya untuk aktif berpartisipasi di sektor politik –dan tidak bersikap apolitis– dengan mengedepankan etika Islam, berorientasi pada kepentingan umum dan bukan kepentingan diri sendiri atau golongan, serta harus menunjukkan sikap politik yang moderat (2019: 107-110).

Secara organisatoris, Muhammadiyah sebenarnya telah melakukan ijtihad di bidang politik kebangsaan yang dikenal sebagai Khittah Muhammadiyah atau Khittah Perjuangan Muhammadiyah. Konsep Khittah Muhammadiyah mengandung makna garis perjuangan dan keyakinan hidup yang dipilih oleh Muhammadiyah (2010: 231).

Sampai saat ini, Muhammadiyah sudah melahirkan 5 (lima) dokumen khittah, yakni (a) Khittah Palembang pada 1956-1959; (b) Khittah Ponorogo pada 1969; (c) Khittah Ujung Pandang pada 1971; (d) Khittah Surabaya pada 1978, dan; (e) Khittah Denpasar pada 2002. Dari kelima Khittah tersebut, Khittah Denpasar adalah khittah yang paling lengkap dan mewakili.

Khittah Denpasar tahun 2002 berisi: Pertama, Muhammadiyah meyakini bahwa politik dalam kehidupan bangsa dan negara merupakan salah satu aspek dari ajaran Islam dalam urusan keduniawian (al-umur ad-dunyawiyat) yang harus selalu dimotivasi, dijiwai, dan dibingkai oleh nilai-nilai luhur agama dan moral yang utama. Karena itu diperlukan sikap dan moral yang positif dari seluruh warga Muhammadiyah dalam menjalani kehidupan politik untuk tegaknya kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kedua, Muhammadiyah meyakini bahwa negara dan usaha-usaha membangun kehidupan berbangsa dan bernegara, baik melalui perjuangan politik maupun melalui pengembangan masyarakat, pada dasarnya merupakan wahana yang mutlak diperlukan untuk membangun kehidupan di mana nilai-nilai Ilahiah melandasai dan tumbuh subur bersamaan dengan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, perdamaian, ketertiban, kebersamaan, dan keadaban untuk terwujudnya “Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur”.

Ketiga, Muhammadiyah memilih perjuangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui usaha-usaha pembinaan atau pemberdayaan masyarakat guna terwujudnya masyarakat madani (civil society) yang kuat sebagaimana tujuan Muhammadiyah untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan kenegaraan sebagai proses dan hasil dari fungsi politik pemerintahan akan ditempuh melalui pendekatan-pendekatan secara tepat dan bijaksana sesuai prinsip-prinsip perjuangan kelompok kepentingan yang efektif dalam kehidupan negara yang demokratis.

Keempat, Muhammadiyah mendorong secara kritis atas perjuangan politik yang bersifat praktis atau berorientasi pada kekuasaan (real politics) untuk dijalankan oleh partai-partai politik dan lembaga-lembaga formal kenegaraan dengan sebaik-baiknya menuju terciptanya sistem politik yang demokratis dan berkeadaban sesuai dengan cita-cita luhur bangsa dan negara. Dalam hal ini perjuangan politik yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan politik hendaknya benar-benar mengedepankan kepentingan rakyat dan tegaknya nilai-nilai utama sebagaimana yang menjadi semangat dasar dan tujuan didirikannya negara Republik Indonesia yang diproklamirkan tahun 1945.

Kelima, Muhammadiyah senantiasa memainkan peranan politiknya sebagai wujud dari dakwah amar ma’ruf nahi munkar dengan jalan mempengaruhi proses dan kebijakan negara agar tetap berjalan sesuai dengan konstitusi dan cita-cita luhur bangsa. Muhammadiyah secara aktif menjadi kekuatan perekat bangsa dan berfungsi sebagai wahana pendidikan politik yang sehat menuju kehidupan nasional yang damai dan berkeadaban.

Keenam, Muhammadiyah tidak berafiliasi dan tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan kekuatan-kekuatan politik atau organisasi manapun. Muhammadiyah senantiasa mengembangkan sikap positif dalam memandang perjuangan politik dan menjalankan fungsi kritik sesuai dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar demi tegaknya sistem politik kenegaraan yang demokratis dan berkeadaban.

Ketujuh, Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada setiap anggota Persyarikatan untuk menggunakan hak pilihnya dalam kehidupan politik sesuai hati nurani masing-masing. Penggunaan hak pilih tersebut harus merupakan tanggung jawab sebagai warga negara yang dilaksanakan secara rasional dan kritis, sejalan dengan misi dan kepentingan Muhammadiyah, demi kemaslahatan bangsa dan negara.

Kedelapan, Muhammadiyah meminta kepada segenap anggota-anggotanya yang aktif dalam politik untuk benar-benar melaksanakan tugas dan kegiatan politik secara sungguh-sungguh dengan mengedepankan tanggung jawab (amanah), akhlak mulia (akhlaq al-karimah), keteladanan (uswah hasanah), dan perdamaian (ishlah). Aktivitas politik tersebut harus sejalan dengan upaya memperjuangkan misi Persyarikatan dalam melaksanakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar.

Kesembilan, Muhammadiyah senantiasa bekerja sama dengan pihak atau golongan manapun berdasarkan prinsip kebajikan dan kemaslahatan, menjauhi kemudharatan, dan bertujuan untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah yang lebih baik, maju, demokratis dan berkeadaban.

Khittah Denpasar ini, dalam tafsiran Haedar Nashir, menegaskan bahwa Muhammadiyah tidak punya hubungan organisatoris dengan partai politik manapun, tetapi pada waktu bersamaan memberikan kerangka konseptual dan aplikatif agar warga Muhammadiyah tidak alergi terhadap politik atau bersikap apolitis.

“Dengan kata lain bahwa Khittah Denpasar sesungguhnya merupakan Khittah yang paling lengkap dan mewakili seluruh Khittah sebelumnya termasuk Khittah tahun 1971, yang memberikan sinyal pandangan Muhammadiyah tentang politik, posisi Muhammadiyah dalam politik, dan pilihan jalan keluar dari tidak berpolitik-praktis. Khittah Denpasar merupakan Khittah utama yang dapat menjadi bingkai pandangan, pembatas, sekaligus jalan keluar bagi Muhammadiyah dalam menghadapi politik” (2010: 245-246).

Posting Komentar

0 Komentar