Pancasila dan Muhammadiyah
Muktamar Muhammadiyah ke-48 telah usai. Dalam forum permusyawaratan tertinggi itu, Muhammadiyah merumuskan sikap organisasi menyikapi Pemilu dan Suksesi Kepemimpinan Indonesia 2024. Sikap itu tertuang dalam dokumen Tanfidz Keputusan Muktamar Ke-48 Muhammadiyah.
Dalam berbagai kesempatan, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyampaikan bahwa pesta demokrasi lima tahunan itu harus diupayakan agar berjalan dengan demokratis, menjunjung tinggi asas LUBER JURDIL, dan menerapkan etika demokrasi. Stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara harus dijaga. Sebaliknya, segala bentuk pembelahan politik harus dihentikan.
Muhammadiyah menyayangkan bahwa sistem dan pelaksanaan pemilu di Indonesia masih sarat masalah, di antaranya masih menjamurnya politik uang, politik identitas, termasuk mengguritanya oligarki. Semua masalah itu menunjukkan bahwa sistem dan pelaksanaan pemilu di Indonesia belum bermutu.
Dalam pandangan Muhammadiyah, pemilu yang bermutu akan berimplikasi pada lahirnya pemimpin yang bermutu dan kepemimpinan yang mendorong kesejahteraan dan kemajuan bangsa. Oleh karena itu, perlu ada peninjauan ulang mengenai sistem pemilu dan sistem politik di Indonesia agar sejalan dengan nilai Pancasila.
“Kesadaran dan akhlak berpolitik masyarakat, penyelenggara pemilu, dan para elite partai politik maupun elite kekuasaan lainnya perlu ditingkatkan dalam bingkai nilai Pancasila, agama, dan kepribadian bangsa. Bersamaan dengan itu, yang paling penting untuk ditinjau kembali ialah sistem pemilu dan sistem politik yang liberal, yang tidak sejalan dengan Pancasila” (Tanfidz Keputusan Muktamar Ke-48 Muhammadiyah, hlm. 104).
Muhammadiyah mengusulkan agar mekanisme pemilihan diubah menjadi sistem pemilu tertutup atau terbuka terbatas. Usulan itu dimaksudkan agar politik uang, ekses politik identitas, dan pembelahan politik dapat diminimalisir sekecil mungkin, sehingga bangunan kebangsaan dapat terjaga.
Selain itu, yang tidak kalah penting adalah pengontrolan mekanisme proses dan produk legislasi perundang-undangan maupun peraturan pemerintah. Tujuannya dari pengontrolan itu adalah supaya proses dan produk legislasi itu tidak bersifat oligarkis, monolitik, dan tertutup dari aspirasi masyarakat luas.
Dalam catatan Muhammadiyah, pemilu seringkali bukan menjadi ajang demokrasi yang berorientasi pada khidmat dan kerja produktif, tetapi lebih pada ajang bagi politik oligarki dan pihak-pihak yang haus kekuasaan. Pemilu juga kerap melahirkan ketakutan-ketakutan yang disebabkan polarisasi politik, sentimen SARA, politik identitas, dan sebagainya.
“Tumbuh populisme yang hanya mengejar popularitas dan dukungan rakyat secara luas tanpa dibanrengi dengan jiwa autentik mencintai dan memperjuangkan nasib rakyat yang mayoritas masih jauh dari hidup adil, makmud, sejahtera, dan maju” (Tanfidz Keputusan Muktamar Ke-48 Muhammadiyah, hlm. 105).
Di tengah dinamika itulah Muhammadiyah mengajak segenap elite bangsa dan masyarakat umum untuk memikirkan dan mendorong kepemimpinan yang punya visi kebangsaan dan kenegaraan yang kuat, yang menjunjung tinggi nilai Pancasila, agama, dan budaya luhur bangsa.
“Para pemimpin yang terpilih dan diamanahi menjadi pengelola negara ini haruslah sosok-sosok negarawan sejati yang lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri, kroni, dinasti, dan kepentingan sesaat lainnya. Para pemimpin yang dipilih juga mampu membebaskan dari kooptasi berbagai kekuatan asing maupun domestik, yang terus-menerus bekerja membelokkan negara dari fungsi dan orientasi kepatuhan konstitusional (constitutional obedience) dan keluhuran nilai Pancasila” (Tanfidz Keputusan Muktamar Ke-48 Muhammadiyah, hlm. 105).
0 Komentar