Featured Widget

6/recent/ticker-posts

Tuntunan Keluarga Sakinah "Keluarga Menurut Islam"

KELUARGA MENURUT ISLAM

Oleh : Azhar Basyir

( Ketua Umum PP Muhammadiyah (1990-1995)


Islam mengajarkan bahwa anak-anak berhak diasuk orang tuanya. Semua biaya yang diperlukan untuk mengasuk anak dibebankan kepada ayahnya. Mengasuh anak yang masih belum memasuki masa pendidikan ditekankan pada terpenuhi kebutuhan-kebutuhan jasmaniah. Sedang kebutuhan-kebutuhan rohaniahnya memerlukan perlakuan sayang dari ibu-bapaknya.

Setelah anak-anak memasuki umur dapat menerima pendidikan, hendaknya mulai ditanamkan rasa keagamaan dengan jalan praktis, membiasakan mereka untuk mengerjakan ibadat. Hadits Nabi mengajarkan bahwa setelah anak berumur tujuh tahun supaya sudah disuruh mengerjakan salat. Jika pada umur sepuluh tahun masih menunjukkan kemalasan, supaya agak dipaksa, kalau perlu dengan memukulnya sekadar untuk menjadi pelajaran tentang pentingnya salat itu.

Mengenai pendidikan anak, al-Quran surat at-Tahrim: 6 mengajarkan: “Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”

Ayat al-Quran tersebut memberikan dasar pendidikan anak, yaitu agar anak-anak diarahkan menjadi anak saleh yang hidupnya melaksanakan kewajiban-kewajibannya yang akan dapat menjaganya dari kesengsaraan hidup di akhirat.

Secara garis besar, al-Quran surat Luqman: 12-19 mengajarkan:

“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.

“Dan Kami perintahkan kepada manusia terhadap dua orang ibu-bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu-bapaknya, hanya kepada-Ku-lah kembalimu”.

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti kepadanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku-lah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.

“(Luqman berkata): Hai anakku, sesungguhnua jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha halus lagi Maha Mengetahui”.

“Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”.

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”.

“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai”.

Jika ayat-ayat al-Quran tersebut diperhatikan, dapat diperoleh kesimpulan bahwa pendidikan anak menurut ajaran Islam ialah berusaha menjadikan anak saleh, yang dilakukan dengan jalan:

Pertama, menanamkan keimanan kepada Allah secara murni, yaitu keimanan tauhid yang tidak dicampuri kemusyrikan sedikitpun.

Kedua, menanamkan rasa wajib berbuat baik dan bersikap hormat kepada dua orang-tua, ibu-bapak meskipun berbeda keyakinan agamanya.

Ketiga, menanamkan rasa wajib memuliakan Allah atas dasar kesadaran bahwa Allah Maha Mengetahui semua perbuatan manusia: tiada sesuatu perbuatanpun yang akan luput dari pengetahuan Allah.

Keempat, menanamkan kesadaran akan kewajiban mengerjakan salat, sebagaimana ibadah yang terus menerus dilakukan sehari semalam lima waktu hingga akhir hayat.

Kelima, menanamkan rasa tanggung jawab kemasyarakatan, suka mengajak masyarakat untuk berbuat kebaikan dan tidak membiarkan mereka mengerjakan perbuatan buruk yang akan menghancurkan kehidupan mereka sendiri.

Keenam, menanamkan rasa wajib bersikap hormat kepada sesama, tidak congkak dan sombong, baik dalam perkataan maupun perbuatan.

Ketujuh, menanamkan rasa wajib bersikap sopan santun dalam hidup, berjalan sedang, tidak terlampau cepat dan tidak pula terlalu lambat, berbicara sedang, tidak terlampau keras dan tidak pula terlampau lembut.

Secara garis besar, ayat-ayat al-Quran tersebut memberikan pedoman agar pendidikan anak meliputi aspek-aspek akidah atau keimanan yag kuat, ibadah yang disiplin, akhlak yang mulia, dan kemasyarakatan menuju kepada terselenggaranya kehidupan bermasyarakat yang baik, adil, tentram, seimbang, dan serasi atas dasar ajaran al-Quran dan sunnah Rasul. Pendidikan keimanan hendaknya juga berupa menanamkan ajaran-ajarannya, kemudian mengamalkannya.

Tidak dapat dilupakan, bahwa dari banyak hadits-hadits Nabi diperoleh pedoman pendidikan anak yang berkenaan dengan pendidikan keterampilan, yang memungkinkan anak mempunyai kepercayaan terhadap diri sendiri, dapat berusaha mencukupkan kebutuhan hidupnya dengan bekerja secara halal dan baik. Kecuali itu diperoleh juga pedoman-pedoman mengenai pendidikan kesehatan dan jasmani yang akan mencerminkan kekuatan masyarakat muslim, baik fisik maupun mental, material maupun spiritual, individual maupun sosial, kesehatan maupun keilmuan.

Pendidikan anak yang sukses dapat menjadikan anak saleh, merupakan amal yang pahalanya akan terus mengalir, sampaipun orang-tua yang mendidiknya telah meninggal dunia. Hadits Nabi riwayat Musli mengajarkan:

“Jika seseorang telah meninggal, terputuskan pahala amalnya, kecuali tiga macam amal: sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya, atau anak saleh yang mendoakan baik untuknya”.


 Kewajiban Anak terhadap Orang-tua

Telah banyak dikutipkan ayat-ayat al-Quran yang mengajarkan agar manusia berbuat baik kepada dua orang ibu-bapaknya, dengan tekanan ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah dan bertambah lemah, mengandung dengan susah payah dan melahirkan dengan susah payah pula, bahkan telah menyusuinya pula dalam waktu yang cukup lama.

Meskipun tidak secara eksplisit disebutkan, hakekatnya ayahpun tidak kurang pengorbanannya untuk kepentingan anak-anaknya. Oleh karenanya, pada tempatnyalah jika Islam mengajarkan agar anak pandai berterima kasih kepada dua orang ibu-bapaknya (Q.S. Luqman: 14) dan bergaul dengan baik dalam kehidupan di dunia meskipun berbeda keyakinan agamanya (Q.S. Luqman: 15).

Al-Quran surat al-Isra’: 23-24 mengajarkan:

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu-bapakmu. Jika salah seorang dari keduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”.

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya sebagaimana mereka keduanya telah mendidik aku sewaktu kecil”.

Hadits Nabi riwayat Bukhari dan Muslim mengajarkan:

“Ketika sahabat Abdullah bin Mas’ud bertanya kepada Nabi tentang amal apa yang lebih dicintai Allah, Nabi menjawab: Birrul walidain (berbuat baik kepada kedua ibu-bapak). Ditanyakan lagi, kemudian apa? Beliau menjawab: berjihad di jalan Allah”.

Sahabat Abu Hurairah pernah bertanya kepada Nabi tentang siapa di antara umat manusia yang lebih berhak memperoleh perlakuan baik. Nabi menjawab “ibumu”. Ditanyakan kemudian siapa, beliau menjawab “ibumu”. Ditanyakan lagi kemudian siapa, beliau menjawab “ibumu”. Ditanyakan lagi kemudian siapa, beliau menjawab “ayahmu” (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim).

Hadits riwayat Bukhari dan Muslim mengajarkan:

“Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kamu durhaka kepada ibu, tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban, menuntut sesuatu yang bukan haknya dan menanam anak perempuan hidup-hidup dan membenci bagimu suka menceritakan segala sesuatu yang didengar, terlalu banyak bertanya hal-hal yang tidak perlu, dan menyia-nyiakan harta benda”.

 Mempererat Pertalian Keluarga

Islam mengajarkan agar di kalangan orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga saling memperkokoh hubungan kekeluargaannya. Terutama di kalangan yang hubungan kekeluargaannya amat dekat. Al-Quran surat an-Nisa: 1 memerintahkan antara lain agar hubungan silaturahmi dipelihara dengan sebaik-baiknya. Al-Quran surat al-Isra’: 26 memerintahkan antara lain agar orang memenuhi apa yang menjadi hak keluarganya. Al-Quran surat Muhammad: 22 mengajarkan antara lain agar orang jangan memutuskan hubungan kekeluargaan.

Hadits Nabi riwayat Bukhari dan Muslim mengajarkan:

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendalkah menghormati tetamunya, barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaklah menghubungkan tali kekeluargaan dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaklah berkata yang baik atau (jika tidak akan berkata yang baik) hendaklah diam”.

Hadits Nabi riwayat Bukhari dan Muslim mengajarkan:

“Barangsiapa ingin dilapangkan rizkinya dan memperoleh barakah Allah di kemudian hari hendaklah menghubungkan tali kekeluargaan”.

Hadits Nabi riwayat ibnu Majah mengajarkan:

“Perbuatan baik yang paling cepat memperoleh pahalanya ialah berbuat kebaktian dan menghubungkan tali kekeluargaan, dan perbuatan buruk yang paling cepat akan memperoleh balasannya adalah pembangkangan terhadap kewajiban agama dan memutuskan hubungan kekeluargaan”.


 Solidaritas Keluarga

Islam mengajarkan bahwa hubungan kekeluargaan harus selalu dijaga dan dipererat. Mengeratkan hubungan kekeluargaan menuntut agar di kalangan orang-orang yang dipertalikan dengan hubungan kekeluargaan supaya selalu memperhatikan perihal keluarganya, baik dalam segi mental spiritual maupun dalam segi jasmaniah, baik dalam segi moral maupun dalam segi material. Saling nasihat-menasihati hendaknya dapat ditegakkan, dan saling tolong-menolong, bantu-membantu hendaknya dapat dihidupkan.

Solidaritas keluarga dalam bidang material diajarkan dalam bentuk aturan-aturan tentang nafkah keluarga yang amat rapi. Suami berkewajiban memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Anak-anak berkewajiban memberi nafkah kepada orang-tua yang memerlukan. Saudara yang mampu wajib membantu nafkah bagi saudaranya yang memerlukan bantuan.


 Syarat-Syarat Wajib Naskah

Nafkah keluarga menjadi wajib apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Ada hubungan kerabat yang mengakibatkan adanya hubungan waris-mewaris.

2. Adanya kebutuhan kerabat yang memerlukan nafkah.

3. Kerabat yang membutuhkan nafkah tidak mampu berusaha sendiri.

4. Orang yang dibebani nafkah cukup berkemampuan. Tetapi nafkah untuk istri, anak, dan orang-tua menuntut orang yang berkewajiban nafkah bekerja untuk dapat melaksanakan kewajibannya.

5. Bersamaan agama, kecuali nafkah untuk istri, anak, dan orang-tua.


 Nafkah Anak

Nafkah untuk anak-anak dibebankan kepada ayahnya. Syarat-syarat wajib nafkah ayah terhadap anak ialah:

1. Anak masih membutuhkan bantuan nafkah karena fakir atau tidak mampu bekerja. Anak perempuan sebelum bersuami menjadi tanggungan ayahnya.

2. Ayah berkemampuan atau berkuasa memberi nafkah. Ayah wajib berusaha, jangan sampai dengan dalih tidak bekerja lalu menelantarkan anak-anaknya.


 Nafkah Orang-tua

Kewajiban nafkah orang-tua dibebankan kepada anak laki-laki. Kewajiban ini termasuk dalam rangka kewajiban berbuat baik kepada dua orang-tua yang disebutkan dalam banyak ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits Nabi. Orang-tua berhak nafkah jika memerlukannya karena fakir atau tidak mampu bekerja mencari nafkah. Dan anak berkewajiban memberi nafkah orang-tuanya jika mampu, berkemampuan harta, atau bekerja memperolehnya.


Sumber: Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi Mei 1989 (dengan sedikit editing teknis). 

Nashrun Minallahi Wa fathun Qarieb

Posting Komentar

0 Komentar