Featured Widget

6/recent/ticker-posts

Konsep Ideologi Muhammadiyah, B. Ideologi Modernis-Reformis


KONSEP IDEOLOGI MUHAMMADIYAH

Oleh : Prof. Dr. K. H. Haedar Nashir, M. Si. (Ketua Umum PP Muhammadiyah )


 B. Ideologi Modernis-Reformis

Ideologi Muhammadiyah dalam pandangan akademik sering disebut dengan ideologi kaum modernis atau reformis. Para ahli dari luar sering mengkategorisasikan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam reformis atau modernis. Meski menggunakan terminologi asing dalam kajian ilmu-ilmu sosial, sebagai cara memperjelas perbedaan satu gerakan dengan gerakan yang lain, maka tidak perlu alergi terhadap pelabelan atau kategorisasi sejauh tetap bersikap kritis dan tidak menjadikannya absolut. Kategorisasi tersebut tentu bersifat relatif tetapi bermanfaat untuk mengidentifikasi suatu corak pemikiran atau gerakan Islam. Kini, Muhammadiyah sendiri seperti melalui Pernyataan Pikiran Abad Kedua hasil Muktamar ke-46 tahun 2010 di Yogyakarta lebih menggunakan istilah Islam yang berkemajuan, yang secara substantif mengandung unsur-unsur penting dari reformisme atau modernisme Islam, sedangkan secara khusus relatif sama dengan gerakan Islam progresif.

Alfian (1989) menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan reformis. Deliar Noer (1996) menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan modern Islam, yang tampil lebih moderat ketimbang Persatuan Islam. Soekarno memberi predikat Muhammadiyah sebagai gerakan Islam progresif, meski dikritik pula ketika Muhammadiyah menggunakan hijab. Sedangkan William Shepard (2004) mengkategorisasikan Muhammadiyah sebagai kelompok Islamic-Modernism, yang lebih terfokus bergerak membangun Islamic society (masyarakat Islam) daripada perhatian terhadap Islamic state (negara Islam); yang fokus gerakannya pada bidang pendidikan, kesejahteraan sosial, serta tidak menjadi organisasi politik kendati para anggotanya tersebar di berbagai partai politik. Ideologi Islam modernis dibedakan secara tajam dengan Islam tradisional, Islam revivalis, Islam fundamentalis, Islam radikal, Islam liberal, dan Islam sekuler dalam banyak rujukan studi Islam atau studi ilmu sosial tentang gerakangerakan Islam. Sekali lagi, dengan sudut pandang keilmuan yang bersifat kategorisasi untuk lebih memperjelas karakter sebuah gerakan atau ideologi gerakan keagamaan.

Sedangkan Charles Kurzman (2003) mengkategorisasikan pemikiran Kiai Dahlan dan Muhammadiyah sebagai Islam liberal seperti halnya Aligarh di India dan gerakan-gerakan Islam serupa di belahan dunia Islam lainnya. Islam liberal (liberal Islam) yang dimaksudkan Kurzman adalah suatu gerakan Islam yang "menghadirkan kembali masa lalu untuk kepentingan modernitas", yang berbeda dengan Islam revivalis yang sekadar kembali pada masa lalu (periode Islam generasi awal) dan menolak praktik-praktik adat dalam keagamaan (Kurzman, 2003: xvii). Dengan demikian Kurzman lebih menggunakan kata Islam liberal dengan substansi sama dengan modern, bukan pengertian liberal dalam konotasi paham serba-bebas sebagaimana yang berkembang dalam pandangan mutakhir yang merujuk pada ideologi "liberal-sekuler”.

Dalam pandangan Jainuri (2004), orientasi ideologi keagamaan reformis-modernis ditandai oleh wawasan keagamaan yang menyatakan bahwa Islam merupakan nilai ajaran yang memberikan dasar bagi semua aspek kehidupan dan karenanya harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi kaum reformis-modernis, pengamalan ini tidak hanya terbatas pada persoalan-persoalan ritual-ubudiyah, tetapi juga meliputi semua aspek kehidupan sosial kemasyarakatan. Selain itu, kaum reformis-modernis menerima perubahan berkaitan dengan persoalan-persoalan sosial; memiliki orientasi waktu ke depan serta menekankan progran jangka panjang; bersikap rasional dalam melihat persoalan; mudah menerima pengalaman baru; memiliki mobilitas tinggi; toleran; mudah menyesuaikan dengan lingkungan baru. Pada awal abad keduapuluh sikap ini terlihat pada kaum modernis Muslim yang menerima sebagian unsur budaya Barat modern dalam program sosial dan pendidikan mereka. Mereka ini berkeyakinan bahwa dari mana pun asalnya ide atau gagasan itu, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam, adalah diperbolehkan. 

Ideologi reformisme-modernisme memandang Islam mengandung aspek-aspek struktur tetapi sekaligus substansi, ada ranah yang qath'iy tetapi sekaligus yang dhanniy, negara juga dipandang penting tetapi perhatian utama lebih pada pembangunan masyarakat. Dalam pandangan modernisme Islam, bahwa Islam mengandung ajaran yang menyeluruh namun konstruksi dan pelaksanaannya tidaklah tunggal. Bahwa aspek-aspek ajaran Islam perlu diinterpretasi ulang untuk dihadapkan dan dalam rangka menjawab tantangan zaman yang bersifat kekinian, dengan tetap berada dalam fondasi Islam. Islam tidak mengisyaratkan paham tentang negara secara tegas, tetapi nilai-nilai

Islam menjadi fondasi dan membingkai kehidupan bernegara. Kaum reformis-modernis yakin pada kesempurnaan dan kemenyeluruhan ajaran Islam, tetapi pelaksanaannya dalam kehidupan berproses secara bertahap dan terus-menerus sesuai dengan taraf kehidupan pemeluknya, sehingga tidak serba absolut. Akal pikiran diakui keabsahannya untuk memahami dan mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan jiwa ajaran Islam. Hal-hal yang belum Islami dapat diislamkan dengan cara yang berproses, tidak serba ditolak atau sebaliknya diubah secara drastis.

Modernisme yang ditampilkan Muhammadiyah sedikit berbeda dari arus modernisme Islam atau gerakan kebangkitan Islam (al-sahwa al-Islamy) di dunia Islam sebelumnya yang cenderung mengeras dalam ideologi Salafiyah atau revivalisme Islam yang kaku. Muhammadiyah dalam pandangan Azyumardi Azra, kendati secara teologis atau ideologis memiliki akar pada Salafisme atau Salafiyyah, tetapi watak atau sifatnya tengahan atau moderat yang disebutnya sebagai bercorak salafiyyah wasithiyyah (Republika, 13 Oktober 2005). Karena itu, kendati sering diposisikan berada dalam matarantai gerakan pembaruan Islam di dunia Muslim yang bertajuk utama al-ruju' ila Al-Qur'an wa al-Sunnah, Muhammadiyah tidak terlalu kental bercorak gerakan Timur Tengah, karena watak dan orientasi gerakannya lebih lentur dan tengahan. Ideologi Muhammadiyah yang reformis-modernis (pembaruan) lebih menampilkan corak Islam yang berkemajuan, yang memadukan antara pemurnian (purifikasi) dan pengembangan (dinamisasi) dan bersifat tengahan (wasithiyyah) dalam meyakini, memahami, dan melaksanakan ajaran Islam, sehingga Islam senantiasa aktual dan menjadi agama untuk peradaban (din al-hadlarah) sepanjang zaman.

Wajah modernisme Islam yang ditampilkan Muhammadiyah oleh Nakamura dilukiskan sebagai banyak-wajah. Nakamura (1983) melukiskan sebagai berikut:

Muhammadiyah adalah gerakan yang menampilkan banyak wajah. Dari jauh tampak doktriner. Tetapi dilihat dari dekat, kita menyadari ada sedikit sistematisasi teologis. Apa yang ada di sana agaknya merupakan

suatu susunan ajaran moral yang diambil langsung dari Al-Qur'an dan Hadits. Tampak eksklusif bila dipandang dari luar, tetapi sesungguhnya tampak terbuka bila berada di dalamnya. Secara organisatoris tampak membebani, akan tetapi sebenarnya Muhammadiyah merupakan suatu kumpulan individu yang sangat menghargai pengabdian pribadi. Tampak sebagai organisasi yang sangat disiplin, akan tetapi sebenarnya tidak ada alat pendisiplinan yang efektif selain kesadaran masing-masing. Tampak agresif dan fanatik, akan tetapi sesungguhnya cara penyiarannya perlahanlahan dan toleran. Dan barangkali yang paling penting, tampak anti-Jawa, orang akan tetapi sebenarnya dalam banyak hal mewujudkan sifat baik Jawa. Barangkali kita bisa mengatakan di sini, kita mempunyai satu kasus dari agama universal seperti Islam yang menjadi tradisi agama yang hidup di lingkungan Jawa.

Dari pemikiran tersebut tampak bahwa reformisme-modernisme pada Muhammadiyah lebih bersifat tengahan atau moderat dengan orientasi pandangan Islam yang berkemajuan. Sikap reformis dan moderat Muhammadiyah semakin kental jika dikaitkan dengan formulasi pemikiran-pemikiran resmi yang dihasilkan Muhammadiyah seperti dalam Duabelas Langkah Muhammadiyah, Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Kepribadian Muhammadiyah, Matan keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah, Khittah Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, Manhaj Tarjih, dan Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua. Di samping pada pemikiran Kiai Dahlan dan Muhammadiyah generasi awal, secara umum dan kontekstual, sikap reformis dan moderat tersebut kompatibel dengan kondisi dan budaya masyarakat Indonesia dan perkembangan dunia yang semakin memerlukan orientasi keagamaan yang demikian.

Namun penggunaan label ideologi reformis dan moderat atau apapun istilahnya tidak boleh dipelintir seakan Muhammadiyah serba tidak jelas. Sifat reformis juga jangan dikesankan sekuler dan liberal, sedangkan sikap moderat dianggap tidak memiliki prinsip dan serba abu-abu, lalu Muhammadiyah diarahkan ke arah yang sebaliknya, yakni Islam yang cenderung menjadi Neorevivalis. Sebab, dalam Muhammadiyah prinsip-prinsip Islam yang autentik (murni) tetap menjadi fondasi. ( bersambung )


Sumber : Kuliah Kemuhammadiyahan jilid 2,  penerbit Suara Muhammadiyah


┈┈┈◎❅❀❦🌹❦❀❅◎┈┈┈

Nashrun Minallahi Wa fathun Qarieb

Posting Komentar

0 Komentar