Featured Widget

6/recent/ticker-posts

Kisah Buya Hamka Pernah Ditolak Berdakwah [Renungan]

Dalam tulisan beliau yang berjudul, “Masalah Khilafiyah Dan Tentang Taqlid Dan Ijtihad” beliau menceritakan pengalamannya,
“Mufti Jojor telah mengenal saya sebagai ‘Kaum Muda’ dan ‘Wahabi’ dari Indonesia. Setelah mendengar saya akan datang ke beberapa negeri dalam Kerajaan Johor, Mufti memerintahkan kepada seluruh qadhi dalam Kerajaan Johor untuk menutup pintu seluruh masjid di Kerajaan Johor buat Hamka mengadakan ‘syarahan’ (tabligh)…”
Kaum tradisional di Malaysia, yang dipelopori oleh Mufti Johor juga pernah mengeluarkan larangan membaca Tafsir Al-Furqan karangan A. Hassan, dengan alasan Tuan Hassan adalah memakai faham Darwin dan Sigmun Freud. Padahal setelah dibaca dengan teliti tafsir itu sama sekali A. Hassan tidak menyatakan faham yang menyerupai faham Darwin dan Freud itu.
“Pernah juga dikeluarkan larangan membaca kitab2 karangan KH Moenawar Cholil, Prof. Tengku Hasbi As-Shiddiqi, dll, pendek kata, segala karya yang dikeluarkan yang berbeda dari kitab-kitab karangan ulama mutaakhirin mazhab Syafi’i… tegasnya lagi, segala karangan yang tidak berfaham taqlid harus disapu bersih.
Nyatalah, bahwa larangan membaca buku-buku yang berbeda dengan pegangan kaum taqlid itu suatu bukti kecemasan hati, karena takut “kedaulatan” (previlage) nya akan runtuh, karena pertahanan tidak ada… Tidak berani berhadapan dengan bertukar fikiran, lalu menuduh siapapun yang berfaham sebagai Tuan A. Hassan itu adalah mengganggu ketentraman umum.
Faham yang membeku dalam agama, adalah reaksioner, Mereka takut akan ada sumber fatwa lain yang keluar, yang akan mengurangi wibawa mereka. Mereka tidak mempunyai kesanggupan menentang hujjah dengan hujjah…”
“Buku-buku hanya hasil karya manusia yang mempunyai tinjauan aliran baru dalam Islam, Yang demikian akan keluar terus, sebab pembaharuan akan terus berjalan. Kaum Tua di Johor dan umumnya kaum yang berfaham kolot hanya sanggup berbuat perbuatan yang negatif, menghalangi atau menghambat kebebasan faham, tetapi tidak sanggup menciptakan karya yang baru.
Jika mereka mengarang tentang fiqih, yang diulang-ulangnya hanya fiqih lama untuk 800 tahun yang lalu. Jika mereka membuat tafsir, mereka hanya sanggup mengulang-ulang karangan Assadiy Ka’bul Abbar dan Qatadah. Kalau ada penafsiran baru akan dipandang haram.
Syukurlah agama Islam mempunyai pokok dari Al-Quran dan sunnah. Syukurlah Imam Syafii sendiri mengatakan bahwa, “Hadits yang shahih itulah mazhabku”, kalau tidak niscaya akan berkepanjanganlah daulat (kuasa) golongan yang menamakan dirinya ulama, syaikhul Islam, mufti, chief, qadhi yang menentukan hukum yang tidak boleh dibantah, sehingga tidak jauh lagi perbedaan kita dengan agama Katolik, yang siapapun mengeluarkan pendapat berlainan dengan yang ditentukan pemuka-pemuka agama akan dikucilkan dari gereja.” (faisalrahman/sp)
Source : SangPencerah.id

Posting Komentar

0 Komentar